Dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, India bahkan China, seharusnya profesional IT Indonesia setara. Tapi, kenyataannya?
Hamdan, panggil saja begitu. Pria beranak tiga ini adalah warga Indonesia yang bekerja di Arab Saudi. Bidang kerjanya adalah pemelihara jaringan di sebuah perusahaan telekomunikasi berskala internasional. Soal gaji, meski Hamdan tidak eksplisit menyebutnya, namun dari perubahan gaya hidupnya tergambarkan bagaimana ‘lumayan’nya gaji yang diterimanya di Arab Saudi sana.
Begitu ‘hengkang’ ke Arab Saudi, Hamdan mampu merenovasi rumah seluas 120 meter persegi menjadi bangunan dua tingkat dengan gaya arsitektur terkini. Kalau dulu ia hanya punya satu mobil Toyota Great Corolla, kini berubah menjadi Toyota Avanza sebanyak dua buah. Melengkapi gambaran hebatnya gaji Hamdan, sebuah ruko dan sebuah rumah tinggal lainnya dimiliki Hamdan tanpa hutang sedikit pun. Sekedar catatan, Hamdan baru menginjakkankakinya di Arab Saudi tak kurang dari enam bulan.
Menyaksikan atau bahkan mendengar apa yang dimiliki Hamdan, tentu mengerucutkan pikiran kita betapa hebatnya seorang pekerja di bidang Teknologi & Informasi dihargai. Terlebih bila pekerja itu adalah seorang warga negara Indonesia yang bekerja di negara asing.
Tapi siapa sangka kalau sebuah hasil survey yang dilakukan zdnetasia.com secara online pada bulan-bulan terakhir tahun lalu justru berkata lain. Survey yang melibatkan sedikitnya 5090 responden itu menunjukkan kalau gaji yang diterima oleh ahli-ahli TI Indonesia jauh lebih rendah bila dibandingkan beberapa negara lain, seperti Hongkong, Singapura, India, Malaysia serta Thailand.
Profesional di Indonesia yang dalam setahun mendapat total gaji rata-rata sebesar US$ 10.959 hanya setingkat lebih baik dari yang diterima kaum profesional di Filipina yang hanya memperoleh gaji sekitar US$ 10,899 per tahunnya. Sedangkan, Hongkong dan Singapura menempati urutan teratas.
Data lainnya menyebutkan, dengan pengalaman 5 tahun di bidangnya, seorang profesional TI di Indonesia hanya dihargai sekitar US$ 5.619 setahun. Bahkan tidak hanya itu, masih menurut survei itu, profesional IT di Indonesia yang memiliki pengalaman 10 tahun lebih pun hanya menerima gaji rata-rata US$ 20.030 per tahun atau sekitar 15 juta-an setiap bulan. Bandingkan dengan Malaysia yang mampu membayar pakarnya hingga US$ 25.615 setahun.
Sementara itu Filipina hanya sanggup membayar per tahunnya sebesar US$ 19.879. Bandingkan dengan Hongkong, yang tenaga TI-nya bisa berpenghasilan sampai US$ 80.005 setahun. Sedangkan Singapura membayar US$ 64.289 pertahun.
Untuk sektor industri TI, hasil survei itu juga menampilkan data menarik lainnya sebagai bahan kajian. Mereka yang berkarir di bidang Manajemen TI, misalnya, mendapat total pendapatan tahunan yang paling besar dibandingkan bidang lain seperti Project Development dan System Development.
Untuk posisi Manajemen TI, Hongkong berada di peringkat tertinggi pendapatan per tahun yakni US$ 96.754, disusul Singapura (US$ 61.167), Thailand (US$ 38.721), India ( US$ 28.557), Malaysia ( US$ 25.162), Filipina (US$ 19.524) dan Indonesia ( US$ 16.060).
Sedangkan, penghasilan terendah di sektor TI ditempati oleh bidang System Development, yakni US$ 40.971 (Hongkong), US$ 32.902 (Singapura), US$. 15.450 (Thailand), US$ 13.967 (Malaysia), US$ 11.953 (India), US$ 8.448 (Filipina) dan US$ 6.897 (Indonesia).
Tidak Faktual
Beragam pro kontra mengomentari hasil survey tersebut. Karya Bakti Kaban misalnya. Praktisi yang telah lama berkecimpung di dunia IT menyatakan komentar sebaliknya atas hasil survey tersebut. "Nggak benar juga sih ya. Faktanya sih orang-orang kita, apakah itu yang proyek-nya di Indonesia atau yang dikirimke luar negeri, secara salary nggak kalah juga," terang Karya Bakti ketika ditemui di ruang kerjanya akhir bulan lalu.
Rendahnya posisi daya bayar perusahaan Indonesia menurutnya lagi lebih disebabkan oleh pola pengambilan samplenya. "Kenapa benchmark ini nilainya rendah, bayangan saya sih karena yang pertama diambil (sebagai responden) rata-rata pekerja IT secara keseluruhan. Selain itu, orang-orang itu mungkin bekerjanya di Indonesia, dan dari berbagai macam perusahaan. Sehingga hasilnya seperti itu," urainya panjang.
Sedangkan Osly Usman, Career Consultant-IT & Telecommunication Specialist, PT. JAC Indonesia juga keberatan dengan hasil survey itu. Buatnya pakar-pakar IT di Indonesia juga dihargai cukup tinggi. "Kalau pun ada yang bergaji rendah, tapi tidak bisa disamaratakan," ungkapnya.
Osly mencontohkan tenaga teknisi jaringan. "Yang paling mahal disini adalah teknisi jaringan. Level-level itu mulainya dari CCNA, CCNP baru CCIE. Di indonesia ini cuma ada 20 orang. Dan gaji mereka tidak kecil," ungkap Osly yakin.
Sedangkan bagi mereka yang fresh graduate, masih menurut Osly seorang pekerja di bidang IT kisarannya adalah Rp 2,5 juta. Untuk Java malah bisa lebih lagi. "Kisarannya yang lebih bagus bisa 3 juta. Kalau dia main di level ini bisa hingga 20 juta rupiah range of salary nya. Jadi kalau dibilang di sini kita paling rendah ini berdasarkan apa? Kalau misalnya dia bilang untuk developer, oke developer rendahnya di mana? Kita memang ada sih fresh graduate gajinya 1,5 sampai 2 juta memang ada. Tapi mostly dari mereka biasanya ya yang level fresh sekali yang untuk IT staf itu dia memang gajinya 1,5 sampai 2," ujarnya seraya bertanya.
Wayah S. Wiroto, Vice Rector for Colaborationand Marketing Affairs, Universitas Bina Nusantara juga berpendapat senada. Katanya, seorang IT specialist kita bisa mendapatkan gaji sekitar 2,5 sampai 7 juta, tergantung kemampuan dan pengalaman mereka. Bandingkan dengan IT specialist asal Singapura dan India, untuk yang pengalaman satu sampai 3 tahun itu mereka mendapat gaji sekitar US0 sampai US0 US dollar. "Mungkin data itu untuk level yang sudah top managemen IT nya, itu mungkin agak berbeda karena tentunya struktur gaji yang di Indonesia sama yang di luar negeri kalau if you comparison directly it’s almost impossible," ungkap Wayah.
Contoh lainnya disebut Wayah, untuk kalangan middle management semacam section head atau manajer. Industri kita menawarkan gaji antara 7 sampai 20 juta per bulan. "Kalau menurut saya itu relatively cukup comparison kok," ujarnya. Sedangkan untuk yang belum berpengalaman, alumni Binus menurut pria berkacamata ini mendapatkan sekitar 1500-2500 US dollar perbulannya, bila ditempatkan di Jepang.
Utoyo S. Nurtanio, Partner, PT Accenture Indonesia justru mengingatkan kalau kita tidak bisa lihat hasil survei itu sebagai suatu angka yang kita perbandingkan se cara mutlak. "Karena itu relatif dan tergantung dengan kondisi di negara-negara tersebut, dimana secara umum profesi apapun di Singapura misalnya memang secara umum tingkatan gajinya pasti lebih tinggi dari kita. Karena memang biaya hidupnya juga lebih tinggi," imbuh Utoyo.
Idealnya, bila dibandingkan dengan filipina, Indonesia seharusnya lebih tinggi. Sedangkan dengan Thailand hampir sama. "Tapi survey malah menunjukkan kita hampir sama dengan Filipina dan lebih rendah dari Thailand hampir tiga kali lipat.
Menurut Utoyo tinggi rendahnya gaji seorang pekerja IT tergantung dari jam terbangnya. "Jadi kalau yang masih junior itu relatif masih salary pemula. Tapi semakin tinggi jam terbangnya itu sebetulnya tingkat keahliannya itu nggak kalah. Yang membedakan mungkin adalah pool of resourcenya," terang Utoyo.
Kemampuan Bahasa
Sementara itu, Direktur Marketing Oracle Indonesia, Gunawan Loekito memaklumi hasil survey tersebut. Buat Gunawan, dibandingkan dengan beberapa Negara di Asia, IT salary benchmark di Indonesia memang relatif mendekati urutan bawah. "Kalau dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, India atau bahkan Cina, harusnya kita memang ada di antara mereka. Tapi ternyata nggak," ujar Gunawan.
Menurutnya orang masih melihat bahwa, di Indonesia masih relatif lebih bisa ditawar, meski kompetensinya tidak kalah bila dibanding dengan Negara lain. Namun dari sisi kemampuan bahasa, bangsa ini keteteran. "Namun meski Bahasa Inggrisnya kalah bila dibanding dengan negara-negara seperti Singapura, Malaysia dan India. Tapi dengan Cina, jelas kita lebih menang," lanjutnya lagi.
Soal kemampuan, menurut Wayah, pakar IT kita dibandingkan dengan Cina dan Vietnam itu masih jauh lebih baik. Tapi soal bahasa memang agak susah. "Kita agak kalah dibandingkan dengan Korea. Jadi masalah cuma disitu," akunya.
Soal kemampuan komunikasi, Osly punya pendapat lain. Baginya seorang pekerja di bidang IT tidak perlu komunikasi yang komprehensif mengingat hubungan kerjanya lebih banyak bersama mesin. "Dia bukan kayak business writer yang harus sempurna bahasa Inggrisnya," ucapnya.
Namun begitu Oslym mengakui kemampuan komunikasi orang-orang IT itu memang sangat lemah. "Mulai dari negosiasi skill, communication skillnya itu memang mereka kurang. Nah disitulah kelemahan seorang IT karena dia terjun langsung ke mesin tersebut, dia bukan dealing dengan orang," belanya.
Lemahnya kemampuan berbahasa asing ini ternyata melemahkan daya tawar pakar IT kita pula. "Kalau orang luar misalnya taruh di Singapura dia langsung di gaji US$ 3000, kalau di Indonesia mana ada segitu, paling sehebathebatnya Indonesia sistem engineer sekitar Rp 7-8 juta itu juga sudah senior," jelasnya.
Lembaga Khusus SDM
Untuk itu agar bisa lebih bersaing, Gunawan menyarankan perlunya suatu lembaga yang khusus menangani tentang sumber daya manusia di Indonesia. "Sekarang kan Indonesia belum dikenal sebagai pengekspor atau penghasil tenaga kelas menengah dan atas, nah itu yang harus segera diadakan, disosialisasikan, bahkan dikumpulkan, dan kalau di lihat orang pintar banyak kan, Prof, DR, Ir, ahli IT, ahli web ada," sarannya.
Dan biar lebih hebat lagi, menurut Gunawan lagi perlu adanya suatu standar nasional ataupun standar Internasional yang berlaku. "Standarnya apa? Sertifikasi. Nah sertifikasi itu bisa sertifikasi yang dilakukan oleh tingkat nasional maupun internasional. Contohnya, kalau di Oracle,Oracle Certified Professional (OCP), ada lagi Oracle Certified Associate (OCA) ini yang paling bawah. Yang paling tinggi namanya, Oracle Certified Master (OCM)," ujarnya lagi.
Meski Indonesia berada di titik rendah dalam hal gaji menggaji tenaga IT, buat Gunawan itu bukan berarti tenaga IT di Indonesia lebih bodoh atau lebih pintar. " Karena kita kurang dipublikasikan. Jadi kreativitas orang Indonesia nggak kalah dengan orang-orang Amerika atau Eropa," yakinnya.
Karya Bakti Kaban pun berpendapat serupa. Hanya saja ia mengingatkan pentingnya sebuah upaya marketing dalam menjual kemampuan itu tadi. Sehingga kurang dikenal di luar, karena marketingnya kurang. "Sehingga kalau mau mendapat penghasilan yang lebih bagus, yang pertama adalah bahasa Inggrisnya dibagusin dulu, karena itu akan membuat harga naik, persentasi bagus, harganya langsung naik. Satu lagi mungkin, jangan lupa juga kalau mau keluar itu, harus tahu rate, harga luar berapa. Karena kita harus punya bayangan juga, jangan kita ditawar langsung mau, ya sudah harga murah," saran Karya Bakti Kaban.[portalhr]